Senin, 14 Februari 2011

AS: Transisi Mesir Bisa Tiru Indonesia

INILAH.COM, Washington – Reformasi Mesir tidak jauh berbeda dengan Indonesia pada 1998 silam. Pejabat Amerika Serikat (AS) pun menyarankan agar transisi Negeri Piramida ini bercermin pada RI.

“Apa yang terjadi di Indonesia merupakan contoh keterbukaan sistem ekonomi dan politik terbesar di negara berkembang,” ujar Pejabat Dewan Keamanan Nasional (NEC) AS yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (12/2).

Pejabat NEC AS dan ahli kebijakan asing beberapa pekan terakhir memang telah mendiskusikan kemiripan situasi Mesir dengan kerusuhan 1998 di Indonesia, yakni ketika rezim mantan Presiden Soeharto runtuh. Tak heran, bila pemerintah Presiden Barack Obama menganjurkan Mesir meniru Indonesia, dalam transisi menuju demokrasi pascaturunnya Presiden Hosni Mubarak.

Menurut pejabat itu, isu kunci kasus Mesir adalah menyeimbangkan pendukung Islamis dengan kekuatan serta peran militer. “Indonesia pasca-Soeharto adalah contoh terbaik. Mesir bisa berjalan menuju arah yang sama,” lanjutnya dalam sebuah artikel di Wall Street Journal.

Selain NEC, pejabat Gedung Putih ternyata juga membuat studi banding antara oposisi terbesar Mesir, Muslim Brotherhood (MB) dengan aktivitas kelompok Islam di Indonesia. Sehingga, meski ada kekhawatiran organisasi Islam akan membajak revolusi Kairo, Washington masih melihat ada secercah harapan.

Beberapa pejabat AS memang meyakini, peran MB di Mesir takkan sebesar di Indonesia. Namun, sebagian lain berpikir sebaliknya. Misalkan saja Senator Partai Republik John McCain, mantan capres AS yang dikalahkan Obama dalam pemilu AS 2009 lalu. Ia mengaku merasa khawatir dengan MB. “Menurut saya, mereka tidak moderat. MB ekstremis,” papar McCain yang mewakili Negara Bagian Arizona.

Berdasarkan analisa AS, Soeharto dan Mubarak sama-sama memiliki karir panjang di dunia militer, dengan memimpin negara selama tiga dekade didukung institusi angkatan bersenjata. Washington pun memberi dukungan penuh, karena keduanya menekan komunis, serta gerakan Islamis.

Selain itu, kaum muda di Mesir dan Indonesia, menjadi penggerak reformasi dengan alasan sama, yakni rasa frustasi melihat korupsi dan ekonomi yang tak kunjung membaik. Di akhir masa jabatan, Soeharto dan Mubarak sama-sama mendapat tekanan dari militer.

Mereka juga menyerahkan jabatan ke orang kepercayaan masing-masing, wakil presiden. Jika Soeharto menyerahkan kepada wapres saat itu, BJ Habibie, Mubarak ke wapres baru pilihannya, Omar Suleiman.

Ketika Indonesia bereformasi, Washington sempat membuat perbandingan dengan Iran, yang mengalami Revolusi Islam 1979. Ada pertanyaan penting yang mengganjal benak Amerika. Jika Indonesia bisa cepat beralih ke demokrasi, mengapa Iran tidak?

Pertanyaan serupa muncul saat ini ketika menghadapi Mesir. Jika Islam berhasil mengambil alih kekuasaan di Mesir, seperti terjadi di Iran, maka hubungan diplomatik kedua negara bisa terputus. Apalagi Timur Tengah juga berubah semenjak revolusi di Iran itu.

Menurut pengamat kebijakan Indonesia Karen Brooks, pemerintahan Indonesia pada jaman pasca-Soeharto mengalami kesuksesan karena satu hal. “Terjadi kooptasi terhadap agama oleh negara yang terutama menimpa partai-partai Islam. Hal ini menyusul turunnya Soeharto sebagai presiden,” katanya.

Salah satu dari partai ini memiliki kaitan dengan MB, yakni cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meski penduduk Indonesia didominasi Islam, dukungan terhadap partai agama malah flat. Per 2004, Brooks mencatat dukungan untuk partai Islam turun hingga 38%.

“Memasuki tahun ke-13 sejak transformasi demokrasi di Indonesia, partai Islam kehilangan dukungan populernya,” kata Brooks.

Apakah Mesir juga mengalami nasib serupa atau sama seperti Tanah Air? Banyak yang berharap sama. Namun, entah bagaimana jadinya mengingat cengkeraman MB lebih kuat di Mesir ketimbang Indonesia